Dinamika terorisme di Indonesia selalu mengalami regenerasi yang seakan tidak pernah habis. Pelaku jaringan terorisme saat ini pun juga masih mencari sasaran, bahkan banyak yang menargetkan pemuda atau pelajar yang masih berusia belasan tahun. Sebab usia muda masih rentan terhadap doktrin terkait konsep jihad yang justru mencederai bangsa sendiri. Karena itulah saat ini jaringan kelompok terorisme cenderung memilih anak muda sebagai sasarannya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Prof. Buya Syafii Ma'arif saat menjadi salah satu pembicara dalam dialog pencegahan paham radikal terorisme dan ISIS bersama Muhammadiyah di DIY dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Kamis, (28/7) di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam pemaparannya Prof. Buya Syafii mengatakan bahwa saat ini jaringan terorisme dalam memasukkan paham radikalismenya, mereka menggaet para anak muda untuk dipengaruhi. Kondisi anak muda yang mudah dicuci otaknya, memberikan kemudahan kelompok terorisme untuk meregenerasi kelompoknya. Namun kemudahan itu sebenarnya tidak terlepas dari pemahaman agama generasi muda yang minim. "Berbicara mengenai terorisme, mereka melakukan tindakan dengan cara kekerasan, kebiadaban yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kondisi anak muda yang dengan mudahnya dicuci otak, ini disebabkan karena lemahnya pemahaman agama. Sehingga anak muda yang sedang mencari identitas tersebut akan mudah mengikuti apa yang dikatakan oleh para kelompok terorisme tersebut. Agama sudah tidak berfungsi lagi padahal Islam adalah agama keberadaban bukan agama kebiadaban,” paparnya. Prof. Buya Syafi’I juga mengatakan, Indonesia saat ini berada ditangan para pelajar generasi muda. Prof. Buya Syafi’i melanjutkan, terorisme semakin berkembang karena adanya dua hal. Prof. Buya Syafi’I menyebutkan, kedua permasalahan tersebut yaitu adanya pemikiran tentang teologi maut dan adanya kesenjangan sosial. “Semakin berkembangnya kelompok terorisme dengan pemikiran radikalisme, mereka berfikiran bahwa lebih baik mati karena untuk hidup tidak ada harapan akibat dari kondisi masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Ini disebut dengan pemikiran teologi maut. Selain itu kerapuhan yang dialami Indonesia saat ini, banyaknya kesenjangan sosial. Coba perhatikan kondisi sosial ekonomi di Indonesia saat ini. Jika perekonomian Indonesia melemah akan memacu para kelompok terorisme untuk melawan pemerintahan,” tandasnya. Sementara itu, menurut Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir selaku Deputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan bahwa para terorisme dalam melakukan aksi-aksinya mereka juga memanfaatkan dunia maya. “Mereka sangat pandai memanfaatkan dunia maya untuk mendapatkan anggota. Isi website diselingi tulisan-tulisan yang mengacu pada konten-konten radikal. Apalagi saat ini masyarakat yang ingin tau tentang agama mereka lebih memilih untuk mencari via internet tanpa konfirmasi ulang kepada ulama maupun ustad yang faham agama. Kondisi inilah yang digunakan oleh kaum radikal guna merekrut anggota,” jelas Mayjen Abdul. Jika berbicara mengenai dunia maya, Mayjen Abdul menambahkan bahwa generasi muda menjadi kelompok yang paling rentan. Kelompok terorisme mengincar generasi muda melalui pemanfaatan media sosial. “Terorisme seakan tidak pernah mati. Dinamika terorisme di Indonesia selalu mengalami perubahan pola yang dinamis baik dalam bentuk modus, pola propaganda, rekruitmen maupun jaringannya. Hal yang paling berbahaya yaitu paham dan ideologinya yang mampu mengubah pandangan dan pola pikir masyarakat. Dan itu dilakukan melalui website sosial media yang saat ini telah ada ribuan website hasil pola pikir radikal,”tambahnya.
Hal senada juga disampaikan Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed. Menurutnya, kemunculan dan berkembangnya kelompok terorisme akibat dari pemahaman agama yang sempit, serta berpikir bahwa agama pada posisi terancam. “Terdapat 3 aspek dari pemikir radikal. Pertama yaitu kecenderungan pemahaman agama yang terbuka. Penafsiran agama yang hanya dari pemahaman sempit dari teks-teks agama. kedua yaitu adanya pengaruh lingkungan, serta munculnya mimpi- mimpi untuk membersihkan kerusakan moral lingkungan dengan pemurnian akidah,” jelas sekretaris PP Muhammadiyah tersebut. Mu’ti mengatakan, aksi terorisme telah menjadi sebuah fenomena global yang termasuk kedalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. “Secara sederhana, terorisme merupakan suatu bentuk perilaku atau tindakan yang menimbulkan ketakutan masyarakat demi tujuan tertentu dengan cara yang tidak dibenarkan ajaran Islam. Muhammadiyah menolak tegas aksi-aksi terorisme karena mereka menyasar kepada orang-orang yang tidak berdosa,”ungkapnya. Untuk menanggulangi tersebarnya paham radikalisme oleh kelompok teroris, maka 1000 orang dari warga Muhammadiyah dari berbagai latar belakang baik tokoh agama, akademisi, pemuda, pelajar, guru maupun latar belakang lainnya diharapkan menjadi kekuatan dan modal besar untuk melawan aksi terorisme dan sekaligus membendung paham yang dapat menjerumukan masyarakat pada aksi kekerasan dan terror. Dalam upaya pencegahan tersebut, Muhammadiyah dengan menggandeng BNPT bersama-sama mencegah aksi terorisme dan melindungi generasi muda sebagai generasi emas bangsa. Selain itu, dalam acara dialog bersama ini juga diadakan Deklarasi Damai dan Penandatanganan "Komitmen Bersama Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS bersama Muhammadiyah di DIY" oleh Deputi BNPT, Perwakilan Gubernur DIY, Kapolda DIY, Danrem 072 Pamungkas, PP Muhammadiyah yang diwakili Dr. H. Abdul Mu'ti, Rektor UMY, Perwakilan Guru, dan Perwakilan Pelajar DIY.