Mantan ketua umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA bersama 45
tokoh nasional baru saja mendeklarasikan perkumpulan Pergerakan
Indonesia Maju (PIM) pada April
lalu di mana Din ditunjuk sebagai ketua dewan nasional. Namun Din
menegaskan bahwa PIM bukan dirancang sebagai Partai Politik.
Ditemui pada sela-sela
acara Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) pada Senin siang
(23/4) bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Din
menyatakan pendirian PIM
akan fokus pada kemajemukan Bangsa Indonesia untuk mencari solusi atas
berbagai permasalahan bangsa.
“PIM fokus menggalang
potensi kemajemukan bangsa yang bersifat lintas agama, suku, profesi,
gender sekalipun untuk dijadikan kekuatan. Intinya kemajemukan itu harus
menjadi kekuatan.
Tapi tidak sekedar kemudian merajut kemajemukan sebagai kekuatan, tapi
perlu juga terlibat dalam aksi-aksi nyata untuk menanggulangi masalah
bangsa ini,” tutur Din.
Implementasi nyata dari
fokus PIM tersebut diwujudkan dari tingkat tataran atas konseptual
hingga tingkat bawah yang melibatkan semua pihak mulai pemerintah hingga
rakyat di pedesaan.
Semua visi itu terangkrum dalam dasa cita budaya berkemajuan yang Din sampaikan pada pidato kebangsaan bertajuk “Indonesia Maju”.
Poin-poin penting yang
tercantum dalam dasa cita tersebut antara lain maju dari kebiasaan
mementingkan diri sendiri, maju dari tirani, maju dari sifat feodalisme
dan primordialisme,
maju dari budaya nepotisme, maju dari kecendurungan menganiaya diri
sendiri, maju dari budaya kekerasan, maju dari kebiasaan korupsi, maju
dari ketergantungan negara lain, maju dari rasa rendah diri, dan maju
dari kecintaan pada dunia. Din menyatakan
hal terpenting dalam mewujudkan Indonesia maju yakni adanya
budaya berkemajuan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Budaya-budaya itulah yang terangkum dalam dasa cita budaya berkemajuan.
Sebagai ketua dewan
nasional PIM, lebih lanjut Din Syamsuddin menyatakan bahwa visi PIM
sebagai organisasi masyarakat berhimpit dengan visi Muhammadiyah untuk
mewujudkan Indonesia berkemajuan.
“Konvensi ini sangat penting karena Muhammadiyah sudah menetapkan satu
visi keindonesiaan yang disebut dengan visi Indonesia berkemajuan. Saya
kira visi PIM berhimpit dengan visi Muhammadiyah ini, secara esensi
cita-cita nasional Indonesia yang oleh Muhammadiyah
diberi tafsir kontekstual. Indonesia yang maju, adil, makmur,
berdaulat, dan bermartabat. Konvensi ini ingin menawarkan kepada bangsa
sebuah konsensus Indonesia yang kita cita-citakan dan usaha kita bersama
untuk merealisasikannya. Ini tentu sebuah proses
panjang yang melibatkan elemen-elemen lain,” lanjutnya.
Sementara itu, Din juga
membantah pernyataan kekhawatiran bahwa organisasi masyarakat PIM akan
dirancang sebagai partai politik pada kemudian hari. Menurut Din, visi
misi awal didirikannya
PIM justru akan semakin sulit diwujudkan apabila sudah memiliki
kepentingan politik.
“Kita tidak meniatkan
dan merancang PIM sebagai partai politik, karena kami ingin terlibat
dalam aksi yang bersifat kultural yaitu memperkuat landasan kultural,
saya yang mendirikan
PIM bersama tokoh yang lain tidak berpikir demikian seperti ormas-ormas
lain yang tau-tau jadi partai politik. Kalau seandainya di tengah jalan
dari dewan nasional, provinsi maupun di daerah berpikiran untuk hal
itu, saya akan menjadi yang pertama menyatakan
ketidaksetujuan. Karena bagi kami gerakan kemanusiaan kemasyarakatan
yang memiliki agenda politik, maka cita-cita awal akan tidak berjalan,
kita akan terkotak-kotak dalam kepentingan politik,” tutup Dien.